Tepatnya mulai hari ini berakhir sudah semua harapan pada semua orang . Menghilangkan semua perasaan yang sebenarnya bakal menyakitkan hati dan nanti nya bakal pupus di akhirnya . Sepertinya ga akan sulit, karna pada dasarnya memang dari dulu seperti ini juga yang aku rasakan .Entah apa penyebab nya sekarang muncul keresahan yang sama seperti yang dulu, tapi yang pasti kata CLOSER yang sedang berjalan dalam kehidupan aku . Mencoba hilang dari peredaran semua orang orang yang datang dan pergi atau akan datang bila ada perlu dan akan pergi bila semua kemauan nya sudah tercapai . Setidaknya sekarang aku lebih kuat dan ga terlalu menyesalinya , karna itu lah kehidupan . Pikiran aku semakin dewasa bagaimana cara menjalaninya dan bagiku sekarang hidup yang menjalani adalah aku sendiri . Dan aku ga mau mengecawakan diri aku buat mengharapkan orang orang yang sebenarnya ga pernah juga mengharapkan kehadiran aku .
Minimal aku sendiri menjadi motivator buat diri aku . Belajar melihat keadaan sekeliling orang yang bahkan terlalu kuat untuk menjalani kehidupannya . Salah satu nya orang terdekat dari kehidupan aku sekarang , "nenek" aku yang dilihat umurnya sangat rentan untuk melakukan hal hal yang berat . Tapi, dari jiwa nya aku bisa melihat sisi yang bisa aku jadikan motivasi . Nenek aku yang sudah tua masih aja berusaha memelihara tanaman dan memelihara beberapa ekor ayam yang sebenarnya aku saja ga tau sanggup apa ga kalau aku tua nanti . Mungkin karna dia terlalu sayang pada yang di milikinya sekarang dan berusaha memeliharanya sampai kelak ia pergi selamanya .
Sedangkan aku , masih saja bilang nanti kalau mama sedang memanggil menyuruh menyapu taman dibelakang rumah . Mama aku sering bilang "Kalian tau nya minta duit minta duit cepat langsung dapat , belum lagi kalian ngerasain gimana susah cari duit. Yang mama suruh nyapu halaman itu aja susah ". Belum lagi mama suruh aku sholat nya "Kalo udah masuk waktu cepat langsung sholat , jangan lengah2 . Waktu tu terus bejalan , ntah laa ntar kayak mana kalo mama udah ga ada siapa la yang ingatin kalian solat . Kalau habis solat tu jangan lupa doain ayah , doain mama biar sehat . Siapa lagi yang ngurus kalian kalo bukan mama . Masa depan kalian masih panjaang" . Tanpa aku sadar air mata aku sedikit sudah mulai menetes . Agaknya ada sedikit rasa penyesalan yang muncul malam ini akibat tingkah laku aku yang mama pikirkan, sedangkan aku mungkin selama ini sama sekali ga pernah mikirin perasaan mama . Pernah suatu hari ketika mata pelajaran agama kami disuruh merenungkan, merenungkan gimana kalau tiba2 kita pulang skola melihat mama terbaring berbalut kain kafan . Pada saat itu kita manggil manggil mama tapi mama cuma bisa terdiam . Saat perenungan itu pun cukup banyak air mata dalam keadaan hening dengan bayangan yang ketakutan . Mungkin aku ga akan sanggup kalo itu beneran terjadi .
Akhir bulan ini kira nya aku bakal jadi operasi . Penyakit yang aku derita dari kecil yang menjadi beban pikiran mama yang sebelumnya aku bilang ga mau di operasi . Beberapa terapi sejak aku kelas 6 SD sudah dilakukan ,tapi tetep penyakit yang aku derita ga kunjung membaik . Mungkin penyakit ini adalah penyebab dari sebuah kutukan masa lampau yang menjadi penyebab ke tidaknormalan nya aku sekarang . Entah lah apa maksud semua ini . Mungkin mulai hari ini aku akan sedikit menjauh dari semua orang yang akan mengganggu proses pengembalian jati diri . Aku rasa akan sulit , tapi aku harap waktu akan membantu aku menjadi lebih baik . Mugnkin aku juga akan kembali menjadi orang yang lebih banyak diam dan lebih banyak menghabiskan beberapa saat waktu aku ini untuk membahagiakan orang sekitar yang mungkin sebenarnya sayang . Mencoba mencari tau bagaimana cara memotivasi diri sendiri tanpa harus mengharapkan orang lain yang selama ini aku harapkan . Begitu juga sama mama , selama ini aku terlalu banyak berharap sama dia yang sebenarnya sejak daridulu mama bukan orang typical bisa berbicara manis didepan anaknya . Bisa dibilang cuek dalam hal pribadi aku dan tentang kehidupan aku . Aku pun sendiri seperti kadang tidak terlalu mengenal sosok mama aku , tapi yang aku tau mama selalu memikirkan bagaimana aku bisa melanjutkan kehidupan aku .
Selama 11 tahun aku pisah dan tidak tinggal satu rumah dengan mama . Maka jika nanti setelah aku lulus sekolah ini , sesuai permintaan mama aku akan tinggal menetap bersamanya dan memulai kehidupan baru yang nyaman . :)
Malam Ini, Aku Menunggu Kematian
Cerpen Divin Nahb
Aku merebahkan tubuh di atas genting rumah sambil menatap lurus ke atas langit yang hitam. Angin-angin memanjakan bulu roma. Aku bersidekap, menyembunyikan rasa dingin di balik jaket merah yang kupakai. Jariku mulai bergerak. Aku hitung jumlah kematian yang menghampiri orang-orang sekelilingku lalu mengandaikan tiap bintang yang menempel di langit sana adalah mereka.
Kakekku mengawali rambahan sunyi dalam ruang hati. Lalu sahabat kecilku. Berikutnya nenek yang belum lama mengecup tanah kubur. Aku usap dada membiarkan udara menyusup ke dalamnya. Mengenang mereka adalah sesuatu yang kerap aku lakukan tiap malam. Betapapun sakit ditinggal mereka, namun aku mencoba untuk memaknai kematian bukan hanya dengan air mata saja. Padahal aku paham, jika ayah atau ibu yang dipanggil Tuhan pasti air mataku akan terus mengalir. Dua orang itulah, orang tuakulah yang paling sulit untuk aku lepaskan dalam hidup ini.
Tuhan… apa yang harus kukatakan untuk meminta kepada-Mu agar mengambil nyawaku terlebih dahulu dari pada mereka. Bagaimana mungkin aku sanggup tegar dalam hidup ini tanpa mereka.
Tak terasa malam inipun aku menggulirkan air mata kembali. Menerobos kehampaan seorang diri saat siluet kematian ayah dan ibu mendatangi pelupuk mata. Aku seka air mata di pipi, yang berikutnya kembali aku dihadapkan dengan bayangan kematian kakek, sahabat kecil, dan nenekku.
“Kakek selalu memanggil namamu di detik-detik terakhirnya,” suara ibu terngiang di telinga.
“Tubuhnya wangi sekali,” suara kembali terngiang di hari kematian sahabat kecilku.
“Kematian nenek begitu mudah. Lihatkan?! Wajah nenek yang tersenyum?” saat itu, ayah memandang wajah adikku yang sembab melihat mayat nenek yang tergeletak di atas kasur.
Aku membayangkan pertemuan-pertemuan indah dengan mereka yang masih terekam dalam ingatan. Bagaimana kakek memanjakanku dengan semua pemberiannya. Bagaimana sahabat kecilku bercerita dengan serunya saat aku bersamanya. Lalu bagaimana nenek menemani tiap malam tidurku ketika hidup. Bayangan-bayangan tersebut berubah menjadi hari-hari kematian mereka.
Tubuhku semakin kupeluk dengan kedua tangan. Merasakan sakit yang tak mungkin hilang karena kehilangan mereka. Hari-hari di mana aku harus melihat mereka terbujur kaku di bawah kain batik tanpa napas. Begitu mudahnya Tuhan memutuskan kehidupan dan memanggil mereka. Dalam telinga, aku masih dapat mendengar tawa mereka satu persatu. Aku masih dapat melihat senyum mereka walau hanya membayang di langit hitam.
Hidup ternyata hanya sebuah sandiwara belaka. Semua orang memainkan peran sesuai aturan naskah hidup. Tuhan yang mengatur segalanya, saat Dia menyuruh orang-orang balik ke belakang panggung saat itulah peranannya dalam kehidupan di bumi berakhir. Lalu Tuhan pula yang menentukan peran-peran baru. Merekalah anak-anak yang baru dilahirkan ke dunia ini. Dan suatu saat itu pula mereka akan kembali ke belakang panggung.
Tak lebihnya seperti aku yang menunggu kematian malam ini. Karenanya, tiap malam aku selalu menunggu malaikat pencabut nyawa di atas genting. Dan itu hanya dikarenakan aku ingin tahu siapa lagi yang akan menghadap Tuhan. Mungkin saja aku. Toh jika itu terjadi aku bisa meminta pada malaikat untuk menjaga orang-orang yang kusayangi, terutama ayah dan ibuku.
“Wulan! Wulan! Di mana kau nak?!”
Hah… itu suara ibu. Ada apa ibu memanggilku? Segera saja aku bangun dari rebah dan perlahan berjalan ke jendela. Aku tidak ingin mati konyol jatuh dari genting ini. Bisa-bisa malaikat pencabut nyawa menertawakan diriku begitu tahu aku meninggal terjengkang jatuh dari genting. Ah… sudahlah, yang jelas tubuhku sudah berada di tepi jendela melihat ibu yang mengernyit keras ke arahku.
“Kau sedang apa di luar sana Wulan?” ibu mendekatiku dan membantu memasukkan tubuhku ke kamar.
“Menunggu kematian,” jawabku sambil menyibakkan rambutku yang panjang dan aku gulung-gulung membuat konde dengan menyematkan kayu seperti sumpit mie.
“Apa yang kau bicarakan nak?”
“Bu… kematian itu bukan sesuatu yang perlu kita takuti kan? Makanya aku menunggu malaikat di atas genting. Mungkin aneh kedengarannya, tapi meninggal di malam hari itu lebih memiliki seni tersendiri loh.”
Jawabanku semakin membuat ibu mengernyit lebih dalam. Tentu saja, tidak ada kematian yang memiliki seni. Kematian adalah perintah Tuhan! Kapanpun ya terserah Tuhan, manusia hanya wajib mengiyakan saja. Kalaupun manusia tidak mau meninggal saat itu, namun Tuhan menginginkan kematian kita, maka yang tetap akan terjadi adalah kehendak Tuhan. Manusia hanya sebutir yang tiada daya di mata Tuhan.
“Oya, ada apa ibu memanggilku?”
“Kita menjumpai kematian.”
“Apa?”
“Malam ini kamu akan bertemu dengan kematian.”
“Kematian? Bagaimana ibu tahu aku akan bertemu kematian?” aku semakin bingung dengan ucapan ibu.
Aku ditarik ibu untuk duduk di tepi ranjang. Berikutnya ibu mulai bercerita, bahwa memang malam ini ada kematian yang mendekatiku. Namun tentu saja bukan kematianku sendiri. Dalam bahasa sendunya, ibu memberitahukan bahwa teman akrab ayah—yang selalu kusebut om ganteng si baik hati, telah meninggal dunia sewaktu dinas ke luar kota.
Saat itu pula air mataku menetes. Betapapun aku memahami akan kematian sebagai jalan abadi menuju jalan pertemuan manusia dengan Tuhan. Namun rasanya kematian memang membuat kesedihan terdalam. Bagaimana kita akan bahagia jika kita kehilangan satu orang yang ada di sekeliling kita. Seperti tersulut api dari sebatang korek, aku benar-benar merasakan sakitnya api menjilati dada—entah di jantung atau di tempat yang lainnya. Namun aku sungguh merasakan sakit.
Laki-laki yang sering kusebut om ganteng adalah om Bagus. Baru tiga hari yang lalu aku bertemu dengannya dan berbincang mengenai kesediaannya menjadi donatur utama untuk menyokong kegiatan sosial yang aku lakukan bersama dengan kawan-kawan di LSM. Saat itu keadaannya segar bugar, wajahnya tidak menampakkan bahwa dia sakit. Dia sehat-sehat saja. Tapi nyatanya itu tidak membuat takdir kematiannya dimundurkan oleh Tuhan.
“Kita ke sana sekarang bu?” tanyaku yang telah menyeka air mata.
“Ya. Ayah langsung ke sana dari kantor.”
“Sungguh takjub kematian itu ya bu. Aku baru saja bertemu om Bagus tiga hari yang lalu.”
“Ya. Dan ayahmu dengan om Bagus baru saja pergi bersama kemarin sore. Lalu malam ini om Bagus sudah tidak ada.” Ibu menghela napas sejenak. “Tapi seperti inilah kehidupan. Kita hanya sebentar ada di dunia ini.”
Ibu bangun dari tepi tempat tidur sambil sekali lagi mengingatkan bahwa aku ditunggunya di bawah.
Aku menyematkan tubuh dengan balutan pakaian hitam kembali. Mengingatkan pada kejadian-kejadian yang telah lalu, tentang kematian mereka yang namanya baru saja aku letakkan bersama bintang di alam bebas malam ini.
***
“Subhanallah. Om Bagus meninggal dengan cara khusnul khatimah. Saat ingin menunaikan shalat. InsyaAllah dialah ahli surga,” ayah merangkulku sambil melihat tubuh om Bagus yang terbaring di atas ranjang dalam rumahnya.
Senandung Al-Qur’an menggema tiada henti di sekeliling rumah itu. Kawan-kawan om Bagus tiada henti berdatangan, dari orang-orang yang terlibat satu organisasi—baik organisasi yang sifatnya keagamaan sampai ke politik. Atau teman kantor dan para tetangga, yang jelas kerumunan orang tiada henti berdatangan!! Om Bagus sudah seperti selebritis yang dikenal banyak kalangan. Bagaimana tidak demikian? Jika sifat om Bagus sendiri sangat aku kagumi sebagai sosok yang ramah dan bersahaja.
Sementara kepiluan merasuki sisi rumah itu, di luar sana tampak hujan merintik dengan angin yang berhembus kencang. Aku merapatkan jaket karena suasana dingin menyatu dengan kepiluan di rumah itu.
Tante Bagus beserta ketiga anaknya yang semuanya adalah perempuan tampak begitu sedih. Wajah mereka memerah melihat orang yang dicintainya terbujur kaku di bawah kain batik berwarna coklat. Tatapan mata mereka seakan kosong.
Seperti itukah jika aku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai di dunia ini? Sama seperti yang dirasakan tante Bagus dan ketiga putrinya? Tatapanku kualihkan pada paras wajah ayah yang masih berada di sebelahku, lalu melengos ke arah ibu yang sedang bersama ibu-ibu lainnya. Kedua orang itulah yang tidak akan pernah bisa digantikan siapapun.
Tuhan aku menyayangi mereka.
Kupeluk pinggang ayah dan meletakkan kepalaku pada dadanya. Sekujur tubuhku terasa hangat. Cukup malam ini, aku dipertemukan dengan kematian om Bagus. Aku memohon pada Tuhan untuk tidak mengetukkan palu kematian yang lain di malam ini. Karena sebenarnya aku tidak cukup sanggup untuk memaknainya. Aku begitu cengeng!
Saat malam terus beranjak, tubuhku yang kini telah terbaring di atas tempat tidur kembali membayangkan wajah om Bagus yang tersenyum dalam kepucatannya. Satu bintang kembali berkilau dan aku memejamkan mata perlahan.
***
Kesunyian mendenting pilu di malam berikutnya. Aku yang telah tenang dan mampu menerima kenyataan bahwa om Bagus telah tiada kembali menerobos keluar jendela untuk memandang langit. Aku merebahkan tubuh di atas genting lagi menunggu tanda-tanda kematianku sendiri. Walau kemarin Tuhan tidak berkehendak menjemputku, bukan berarti hari ini aku bisa lepas dari kuasa-Nya.
Katakanlah jika aku membuang waktu tiap malamku. Namun paling tidak aku sudah memasrahkan diri pada kehendak-Nya untuk dibawa ke alam yang lebih abadi dari pada di bumi ini. Walau aku pun sering merasakan tidak memiliki kekuatan jika aku harus menghadapi beberapa kematian pada satu hari.
Dingin malam ini mulai menusuk tulangku. Aku rapatkan jaket berwarna biru muda dan memandang bintang-bintang yang bertebaran di langit hitam.
Tuhan… jika kemarin adalah kematian om Bagus. Maka kematian siapa lagi yang akan kau ambil malam ini? Kematian bagi-Mu memang kapan saja, karena itu adalah kehendak-Mu. Namun aku begitu pasrah terhadap kematian pada tiap malam saja. Entahlah, namun rasanya malam itu bagai suasana yang hening untuk bertemu Kau. Dan aku serasa siap untuk Kau jemput. Tuhan berikanlah aku petanda, apakah ada kematian hari ini? Dan lagi-lagi aku mohon, jangan biarkan ayah dan ibu untuk mendahuluiku.
Malam semakin beranjak. Suasana semakin hening dan hiruk pikuk tidak terdengar lagi. Ibu yang telah mengetahui keberadaanku tiap malam menyuruhku untuk segera masuk ke dalam kamar.
“Wulan, ini sudah larut!”
“Iya. Sepertinya kematian di sekeliling kita tidak datang malam ini.”
Ibu mengecup keningku dan menutup pintu kamar. Aku letakkan seluruh tubuhku ke atas kasur. Namun ketika baru saja ingin memejamkan mata, terdengar suara samar dari luar pintu.
“Kita semua harus ke sana sekarang. Gaos meninggal karena tabrakan. Ibu bangunkan Wulan ya.” Aku tahu itu adalah suara ayah.
Sekujur tubuhku bergetar. Malam ini Tuhan menentukan om Gaos untuk meninggalkan kami. Orang-orang di sekelilingku telah menghadap-Nya, lalu kapankah giliranku Tuhan?
Tangerang, 23 Februari 2008
Aku merebahkan tubuh di atas genting rumah sambil menatap lurus ke atas langit yang hitam. Angin-angin memanjakan bulu roma. Aku bersidekap, menyembunyikan rasa dingin di balik jaket merah yang kupakai. Jariku mulai bergerak. Aku hitung jumlah kematian yang menghampiri orang-orang sekelilingku lalu mengandaikan tiap bintang yang menempel di langit sana adalah mereka.
Kakekku mengawali rambahan sunyi dalam ruang hati. Lalu sahabat kecilku. Berikutnya nenek yang belum lama mengecup tanah kubur. Aku usap dada membiarkan udara menyusup ke dalamnya. Mengenang mereka adalah sesuatu yang kerap aku lakukan tiap malam. Betapapun sakit ditinggal mereka, namun aku mencoba untuk memaknai kematian bukan hanya dengan air mata saja. Padahal aku paham, jika ayah atau ibu yang dipanggil Tuhan pasti air mataku akan terus mengalir. Dua orang itulah, orang tuakulah yang paling sulit untuk aku lepaskan dalam hidup ini.
Tuhan… apa yang harus kukatakan untuk meminta kepada-Mu agar mengambil nyawaku terlebih dahulu dari pada mereka. Bagaimana mungkin aku sanggup tegar dalam hidup ini tanpa mereka.
Tak terasa malam inipun aku menggulirkan air mata kembali. Menerobos kehampaan seorang diri saat siluet kematian ayah dan ibu mendatangi pelupuk mata. Aku seka air mata di pipi, yang berikutnya kembali aku dihadapkan dengan bayangan kematian kakek, sahabat kecil, dan nenekku.
“Kakek selalu memanggil namamu di detik-detik terakhirnya,” suara ibu terngiang di telinga.
“Tubuhnya wangi sekali,” suara kembali terngiang di hari kematian sahabat kecilku.
“Kematian nenek begitu mudah. Lihatkan?! Wajah nenek yang tersenyum?” saat itu, ayah memandang wajah adikku yang sembab melihat mayat nenek yang tergeletak di atas kasur.
Aku membayangkan pertemuan-pertemuan indah dengan mereka yang masih terekam dalam ingatan. Bagaimana kakek memanjakanku dengan semua pemberiannya. Bagaimana sahabat kecilku bercerita dengan serunya saat aku bersamanya. Lalu bagaimana nenek menemani tiap malam tidurku ketika hidup. Bayangan-bayangan tersebut berubah menjadi hari-hari kematian mereka.
Tubuhku semakin kupeluk dengan kedua tangan. Merasakan sakit yang tak mungkin hilang karena kehilangan mereka. Hari-hari di mana aku harus melihat mereka terbujur kaku di bawah kain batik tanpa napas. Begitu mudahnya Tuhan memutuskan kehidupan dan memanggil mereka. Dalam telinga, aku masih dapat mendengar tawa mereka satu persatu. Aku masih dapat melihat senyum mereka walau hanya membayang di langit hitam.
Hidup ternyata hanya sebuah sandiwara belaka. Semua orang memainkan peran sesuai aturan naskah hidup. Tuhan yang mengatur segalanya, saat Dia menyuruh orang-orang balik ke belakang panggung saat itulah peranannya dalam kehidupan di bumi berakhir. Lalu Tuhan pula yang menentukan peran-peran baru. Merekalah anak-anak yang baru dilahirkan ke dunia ini. Dan suatu saat itu pula mereka akan kembali ke belakang panggung.
Tak lebihnya seperti aku yang menunggu kematian malam ini. Karenanya, tiap malam aku selalu menunggu malaikat pencabut nyawa di atas genting. Dan itu hanya dikarenakan aku ingin tahu siapa lagi yang akan menghadap Tuhan. Mungkin saja aku. Toh jika itu terjadi aku bisa meminta pada malaikat untuk menjaga orang-orang yang kusayangi, terutama ayah dan ibuku.
“Wulan! Wulan! Di mana kau nak?!”
Hah… itu suara ibu. Ada apa ibu memanggilku? Segera saja aku bangun dari rebah dan perlahan berjalan ke jendela. Aku tidak ingin mati konyol jatuh dari genting ini. Bisa-bisa malaikat pencabut nyawa menertawakan diriku begitu tahu aku meninggal terjengkang jatuh dari genting. Ah… sudahlah, yang jelas tubuhku sudah berada di tepi jendela melihat ibu yang mengernyit keras ke arahku.
“Kau sedang apa di luar sana Wulan?” ibu mendekatiku dan membantu memasukkan tubuhku ke kamar.
“Menunggu kematian,” jawabku sambil menyibakkan rambutku yang panjang dan aku gulung-gulung membuat konde dengan menyematkan kayu seperti sumpit mie.
“Apa yang kau bicarakan nak?”
“Bu… kematian itu bukan sesuatu yang perlu kita takuti kan? Makanya aku menunggu malaikat di atas genting. Mungkin aneh kedengarannya, tapi meninggal di malam hari itu lebih memiliki seni tersendiri loh.”
Jawabanku semakin membuat ibu mengernyit lebih dalam. Tentu saja, tidak ada kematian yang memiliki seni. Kematian adalah perintah Tuhan! Kapanpun ya terserah Tuhan, manusia hanya wajib mengiyakan saja. Kalaupun manusia tidak mau meninggal saat itu, namun Tuhan menginginkan kematian kita, maka yang tetap akan terjadi adalah kehendak Tuhan. Manusia hanya sebutir yang tiada daya di mata Tuhan.
“Oya, ada apa ibu memanggilku?”
“Kita menjumpai kematian.”
“Apa?”
“Malam ini kamu akan bertemu dengan kematian.”
“Kematian? Bagaimana ibu tahu aku akan bertemu kematian?” aku semakin bingung dengan ucapan ibu.
Aku ditarik ibu untuk duduk di tepi ranjang. Berikutnya ibu mulai bercerita, bahwa memang malam ini ada kematian yang mendekatiku. Namun tentu saja bukan kematianku sendiri. Dalam bahasa sendunya, ibu memberitahukan bahwa teman akrab ayah—yang selalu kusebut om ganteng si baik hati, telah meninggal dunia sewaktu dinas ke luar kota.
Saat itu pula air mataku menetes. Betapapun aku memahami akan kematian sebagai jalan abadi menuju jalan pertemuan manusia dengan Tuhan. Namun rasanya kematian memang membuat kesedihan terdalam. Bagaimana kita akan bahagia jika kita kehilangan satu orang yang ada di sekeliling kita. Seperti tersulut api dari sebatang korek, aku benar-benar merasakan sakitnya api menjilati dada—entah di jantung atau di tempat yang lainnya. Namun aku sungguh merasakan sakit.
Laki-laki yang sering kusebut om ganteng adalah om Bagus. Baru tiga hari yang lalu aku bertemu dengannya dan berbincang mengenai kesediaannya menjadi donatur utama untuk menyokong kegiatan sosial yang aku lakukan bersama dengan kawan-kawan di LSM. Saat itu keadaannya segar bugar, wajahnya tidak menampakkan bahwa dia sakit. Dia sehat-sehat saja. Tapi nyatanya itu tidak membuat takdir kematiannya dimundurkan oleh Tuhan.
“Kita ke sana sekarang bu?” tanyaku yang telah menyeka air mata.
“Ya. Ayah langsung ke sana dari kantor.”
“Sungguh takjub kematian itu ya bu. Aku baru saja bertemu om Bagus tiga hari yang lalu.”
“Ya. Dan ayahmu dengan om Bagus baru saja pergi bersama kemarin sore. Lalu malam ini om Bagus sudah tidak ada.” Ibu menghela napas sejenak. “Tapi seperti inilah kehidupan. Kita hanya sebentar ada di dunia ini.”
Ibu bangun dari tepi tempat tidur sambil sekali lagi mengingatkan bahwa aku ditunggunya di bawah.
Aku menyematkan tubuh dengan balutan pakaian hitam kembali. Mengingatkan pada kejadian-kejadian yang telah lalu, tentang kematian mereka yang namanya baru saja aku letakkan bersama bintang di alam bebas malam ini.
***
“Subhanallah. Om Bagus meninggal dengan cara khusnul khatimah. Saat ingin menunaikan shalat. InsyaAllah dialah ahli surga,” ayah merangkulku sambil melihat tubuh om Bagus yang terbaring di atas ranjang dalam rumahnya.
Senandung Al-Qur’an menggema tiada henti di sekeliling rumah itu. Kawan-kawan om Bagus tiada henti berdatangan, dari orang-orang yang terlibat satu organisasi—baik organisasi yang sifatnya keagamaan sampai ke politik. Atau teman kantor dan para tetangga, yang jelas kerumunan orang tiada henti berdatangan!! Om Bagus sudah seperti selebritis yang dikenal banyak kalangan. Bagaimana tidak demikian? Jika sifat om Bagus sendiri sangat aku kagumi sebagai sosok yang ramah dan bersahaja.
Sementara kepiluan merasuki sisi rumah itu, di luar sana tampak hujan merintik dengan angin yang berhembus kencang. Aku merapatkan jaket karena suasana dingin menyatu dengan kepiluan di rumah itu.
Tante Bagus beserta ketiga anaknya yang semuanya adalah perempuan tampak begitu sedih. Wajah mereka memerah melihat orang yang dicintainya terbujur kaku di bawah kain batik berwarna coklat. Tatapan mata mereka seakan kosong.
Seperti itukah jika aku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai di dunia ini? Sama seperti yang dirasakan tante Bagus dan ketiga putrinya? Tatapanku kualihkan pada paras wajah ayah yang masih berada di sebelahku, lalu melengos ke arah ibu yang sedang bersama ibu-ibu lainnya. Kedua orang itulah yang tidak akan pernah bisa digantikan siapapun.
Tuhan aku menyayangi mereka.
Kupeluk pinggang ayah dan meletakkan kepalaku pada dadanya. Sekujur tubuhku terasa hangat. Cukup malam ini, aku dipertemukan dengan kematian om Bagus. Aku memohon pada Tuhan untuk tidak mengetukkan palu kematian yang lain di malam ini. Karena sebenarnya aku tidak cukup sanggup untuk memaknainya. Aku begitu cengeng!
Saat malam terus beranjak, tubuhku yang kini telah terbaring di atas tempat tidur kembali membayangkan wajah om Bagus yang tersenyum dalam kepucatannya. Satu bintang kembali berkilau dan aku memejamkan mata perlahan.
***
Kesunyian mendenting pilu di malam berikutnya. Aku yang telah tenang dan mampu menerima kenyataan bahwa om Bagus telah tiada kembali menerobos keluar jendela untuk memandang langit. Aku merebahkan tubuh di atas genting lagi menunggu tanda-tanda kematianku sendiri. Walau kemarin Tuhan tidak berkehendak menjemputku, bukan berarti hari ini aku bisa lepas dari kuasa-Nya.
Katakanlah jika aku membuang waktu tiap malamku. Namun paling tidak aku sudah memasrahkan diri pada kehendak-Nya untuk dibawa ke alam yang lebih abadi dari pada di bumi ini. Walau aku pun sering merasakan tidak memiliki kekuatan jika aku harus menghadapi beberapa kematian pada satu hari.
Dingin malam ini mulai menusuk tulangku. Aku rapatkan jaket berwarna biru muda dan memandang bintang-bintang yang bertebaran di langit hitam.
Tuhan… jika kemarin adalah kematian om Bagus. Maka kematian siapa lagi yang akan kau ambil malam ini? Kematian bagi-Mu memang kapan saja, karena itu adalah kehendak-Mu. Namun aku begitu pasrah terhadap kematian pada tiap malam saja. Entahlah, namun rasanya malam itu bagai suasana yang hening untuk bertemu Kau. Dan aku serasa siap untuk Kau jemput. Tuhan berikanlah aku petanda, apakah ada kematian hari ini? Dan lagi-lagi aku mohon, jangan biarkan ayah dan ibu untuk mendahuluiku.
Malam semakin beranjak. Suasana semakin hening dan hiruk pikuk tidak terdengar lagi. Ibu yang telah mengetahui keberadaanku tiap malam menyuruhku untuk segera masuk ke dalam kamar.
“Wulan, ini sudah larut!”
“Iya. Sepertinya kematian di sekeliling kita tidak datang malam ini.”
Ibu mengecup keningku dan menutup pintu kamar. Aku letakkan seluruh tubuhku ke atas kasur. Namun ketika baru saja ingin memejamkan mata, terdengar suara samar dari luar pintu.
“Kita semua harus ke sana sekarang. Gaos meninggal karena tabrakan. Ibu bangunkan Wulan ya.” Aku tahu itu adalah suara ayah.
Sekujur tubuhku bergetar. Malam ini Tuhan menentukan om Gaos untuk meninggalkan kami. Orang-orang di sekelilingku telah menghadap-Nya, lalu kapankah giliranku Tuhan?
Tangerang, 23 Februari 2008
Label:
Cerpen
speechless . keramaian dan kedamaian
Setelah beberapa hari aku ngerasain perasaan yang semakin ga jelas , sambil dengar lagu G4L nya Rihanna akhirnya nya aku tulis sedikitnya luapan emosi dari energi otak kanan ku . Kebingungan luar biasa yang aku alami sekarang yang akan berdampak buat kehidupan aku entar nya. Selama ini hidup yang aku jalani sering merasakan kesendirian dan jauh dari keramaian yang aku kira tidak menyukainya . Pada dasarnya yang aku ingin kan cuma kedamaian , biar tidak ada yang menganggu. Tapi kejadian semalam setidaknya mengubah sedikit pemikiran aku tentang kedamaian . Tawaan sekitaran orang yang baru aku kenal yang sebenarnya kurang menyukai keadaan yang harus beradaptasi dengan orang orang baru . Mungkin agak aneh ,tapi mungkin juga karena selama ini sikap aku yang lebih suka menyendiri yang menjadi antisosial gini . Sudah lama ga pernah ketawa selepas malam kemaren walaupun agak ditahan , tapi sampai buat aku jadi mengeluarkan keringat . Ce Ce Ce Ce Ce Ce , hha . Ngeliat orang disamping aku ketawa lepaas , aku jadi ikut ketawa dah :D terimakasih :)
Hari ini ,seharusnya aku harus kembali ke Batam . Tapi masih ada perasaan yang berat mau beranjak dari pulau kelahiran aku ini . Mungkin karena aku terlanjur nyaman disini dan sudah ga mau kembali dalam keadaan yang buruuk itu . Keadaan yang selama ini aku bilang damai dengan kesendirian .Kedamaian yang jauh dari orang orang ramai dan aku pun menikmatinya yang terkadang aku merasa jenuh dengan kedamaian dan inginkan keramaian . Dan sekarang aku pun ingin keluar dari lingkaran hitam yang selama ini aku bilang kedamaian . Tapi siang tadi buat aku jadi semakin bingung . Karena keadaan rumah yang ramai ,seketika saat itu yang aku menjadi benci pada keramaian dan yang aku inginkan kedamaian , kesendirian . Siklus hidup yang ga jelas .
Belum lagi jika seandainya nanti kalau aku jadi menetap disini dan aku akan meninggalkan tempat kedamaian yang aku sudah lewati . Aku ga tau harus gimana , mungkin akan aku pikirkan lagi semua nya :)
Hari ini ,seharusnya aku harus kembali ke Batam . Tapi masih ada perasaan yang berat mau beranjak dari pulau kelahiran aku ini . Mungkin karena aku terlanjur nyaman disini dan sudah ga mau kembali dalam keadaan yang buruuk itu . Keadaan yang selama ini aku bilang damai dengan kesendirian .Kedamaian yang jauh dari orang orang ramai dan aku pun menikmatinya yang terkadang aku merasa jenuh dengan kedamaian dan inginkan keramaian . Dan sekarang aku pun ingin keluar dari lingkaran hitam yang selama ini aku bilang kedamaian . Tapi siang tadi buat aku jadi semakin bingung . Karena keadaan rumah yang ramai ,seketika saat itu yang aku menjadi benci pada keramaian dan yang aku inginkan kedamaian , kesendirian . Siklus hidup yang ga jelas .
Belum lagi jika seandainya nanti kalau aku jadi menetap disini dan aku akan meninggalkan tempat kedamaian yang aku sudah lewati . Aku ga tau harus gimana , mungkin akan aku pikirkan lagi semua nya :)
Label:
Cerita Hidup
Long Weekend suka hati .
Seharusnya hari kamis adalah hari terakhir kami uas , tapi yang aku dengar hari jumat masih ada praktek olga, huaaa . Mendadak aku jadi lemees , padahal rencana hari ini aku bakal libur long weekend di rumah kelahiran aku ,tg pinang (lebay,hha) . Sebelum pulang kami anak ACC melakukan pemotretan sebagai kenang2an . Ga terlalu banyak gaya, pemotretan pun selesai . Dengan segera nya aku pulang dengan perasaan gundah aku masih belum tau mau ke pinang atau ga . Karena besok masih ada ujian praktek olga + beberapa mata pelajaran aku yang remednya . Sebenarnya yang aku rasakan waktu itu cuma rasa bosan yang mendalam , pengen nya cari suasana baru , dan kalo bisa pacar baru juga deh ,hha . Toh dipinang juga aku ga akan juga ngerasa lebih nyaman dengan kondisi yang begitu rame bin meriah dengan beberapa tuyul tuyul kecil yang datang . Belum lagi dengan hal konyol yang bisa buat aku ga betah nya . Tapi mau lari kemana juga dah selain ke pinang ?! Ga ada niat lain selain memperbaiki suasana hati tanpa orang orang yang biasa nya aku jumpai . Hah , nyampe rumah juga akhirnya dengan rasa capeek tapi aku harus menyiapkan baju dan segala macamnya buat aku bawa . Habis makan dengan sepiring nasi dan beberapa potongan sosis perut aku pun merasakan sakit yang luar binasa . Sumpaah, peruut aku terasa sakit mampuus dan aku ga tau harus gimana tuuh pas itu . Aku coba bawa tidur , eh ga tau nya ketiduran . Tapi habis bangun tidur eh sakit nya hilang juga , senang deh :)
Jam 11 lebih aku cabut melewati panas nya terik matahari sekitar 7 menit , tapi aku udah persiapkan semua nya. Dengan kacamata hitam dan sehelai switer lembut yang cukup melindungi aku ,hha .Dah , cuma bentar nunggu taxi aku pun langsung ke pelabuhan punggur .
Nyampe di kapal Baruna , aku cari tempat di paling depan . Sambil membunuh waktu , aku melanjutkan membaca buku yang kemaren aku beli, judul nya "Rahasia Sang Waktu" . Selintas tentang isi ini buku yang menjabarkan cerita seorang karyawan bernama Time yang tidak pernah punya waktu yang untuk anaknya Time Junior-
Dan pada ulang tahun Time Junior , Time Junior menanyakan berapa waktu bekerja atasan ayah nya, lalu atasan ayahnya itu pun menjawab 2 jam . Dari sini lah Time Junior bingung kenapa ayahnya menghabiskan waktu bekerja 10 jam sedangkan atasan ayahnya hanya 2 jam . Time pun yang selama ini tidak pernah menyadarinya ,ikut merasa heran . Dan semenjak itu laah, Time pun bertemu dengan orang orang yang membuat cara berpikir nya berubah .
Sebuah buku yang bisa membuat orang terinspirasi bagaimana cara menginvestasikan waktunya dengan baik .

Ga kerasa satu jam aku di kapal dengan menghabiskan halaman buku tersebut , aku nyampe di pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjung Pnang . Aku di jemput sama abang abangan aku, hha . Orang yang suka buka blog aku dan menceritakan semua yang udah aku tulis dan membuat aku menjadi malu sendiri, hee . Cuma tarook tas bentar ke rumah nenek, mama suruh sholat bentar. Tapi aku harus nemenin abang makan. Habis itu pulang nya ujaan deh , hha . Nyampe rumah ga tau mau ngpain langsung main ps2 deh sama adek tersayong . Bosan main , coba buka laptop pengen ol . Eh ga bisa konek , mungkin di pinang belum dapat jaringan nya . Ga tau nya karna aku pake kartu batam , terpaksa dah harus beli kartu pinang . Tapi karna dah malam , aku harus beli besok .
Besoknya aku bangun , tepatnya di bangun sama mamah suru sholat egein . Habis sholat tidur lagi deh . Bangun-bangun dah jam 9 , belum apa-apa kepikiran buat langsung cari kartu nya di pasaar .
Jam 11 lebih aku cabut melewati panas nya terik matahari sekitar 7 menit , tapi aku udah persiapkan semua nya. Dengan kacamata hitam dan sehelai switer lembut yang cukup melindungi aku ,hha .Dah , cuma bentar nunggu taxi aku pun langsung ke pelabuhan punggur .
Nyampe di kapal Baruna , aku cari tempat di paling depan . Sambil membunuh waktu , aku melanjutkan membaca buku yang kemaren aku beli, judul nya "Rahasia Sang Waktu" . Selintas tentang isi ini buku yang menjabarkan cerita seorang karyawan bernama Time yang tidak pernah punya waktu yang untuk anaknya Time Junior-
Dan pada ulang tahun Time Junior , Time Junior menanyakan berapa waktu bekerja atasan ayah nya, lalu atasan ayahnya itu pun menjawab 2 jam . Dari sini lah Time Junior bingung kenapa ayahnya menghabiskan waktu bekerja 10 jam sedangkan atasan ayahnya hanya 2 jam . Time pun yang selama ini tidak pernah menyadarinya ,ikut merasa heran . Dan semenjak itu laah, Time pun bertemu dengan orang orang yang membuat cara berpikir nya berubah .
Sebuah buku yang bisa membuat orang terinspirasi bagaimana cara menginvestasikan waktunya dengan baik .

Ga kerasa satu jam aku di kapal dengan menghabiskan halaman buku tersebut , aku nyampe di pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjung Pnang . Aku di jemput sama abang abangan aku, hha . Orang yang suka buka blog aku dan menceritakan semua yang udah aku tulis dan membuat aku menjadi malu sendiri, hee . Cuma tarook tas bentar ke rumah nenek, mama suruh sholat bentar. Tapi aku harus nemenin abang makan. Habis itu pulang nya ujaan deh , hha . Nyampe rumah ga tau mau ngpain langsung main ps2 deh sama adek tersayong . Bosan main , coba buka laptop pengen ol . Eh ga bisa konek , mungkin di pinang belum dapat jaringan nya . Ga tau nya karna aku pake kartu batam , terpaksa dah harus beli kartu pinang . Tapi karna dah malam , aku harus beli besok .
Besoknya aku bangun , tepatnya di bangun sama mamah suru sholat egein . Habis sholat tidur lagi deh . Bangun-bangun dah jam 9 , belum apa-apa kepikiran buat langsung cari kartu nya di pasaar .
Label:
Cerita Hidup
Posting Pertama April .

Hari selasa tanggal 5 April , postingan pertama dibulan april . Heppi April Mop deh ! Basi banget dah ,hha . Cerita buat April Mop , sebenarnya aku baru buat ngerjain orang di April Mop di tahun 2010 ini . Truus kemana aja aku selama ini ? Tepatnya aku tetep hidup tapi ga segehuulllzz sekarang dah . Anak baru gehulz , baru kenal dunia nya orang orang gehulz . Setidaknya aku ga sekampungan tahun kemaren kemaren (*red) .
Cerita awal April Mop 2010 , ga ada yang gimana gimana seperti orang orang yang konon hebih ngerjain orang lain . Tau gimana aku ngerjain orang ? Cuma di chat Facebook dengan bilang "Hey...lu bangsat!!!" , hha. Spontan dong kalo aku kirim kata itu ke orang2 pasti langsung maraah . Naah, kalau target udah kenaa trus dia maraah , langsung dah aku suruh liat status aku di Facebooknya kalo aku sedang ngerjain orang di April Mop . Apakah April Mop penting ? Ga juga . Kalau buat aku sih ngerjain orang itu ga cuma di hari April Mop , tapii yaah buat seruseruan gapapa laah . Tapii emang sih rada agaak noraak ,tapi biar dah mau cari fame juga, hha .
Beranjak dari April Mop , tepatnya hari ini aku UAS . Katanya sih cuma 4 pelajaran , tapi ada denger IPA sama IPS juga ada, arrg . Diawali dengan pagi yang cerah aku bangun tidur , bangun tidur ku teruus mandi tidak lupa menggosok gigi . Tapi engga ding , banguun tidur ku terus minum air putih tidak lupa mencuci muluut, hha . Rencana nya malaah malas mandi , karena suhu pada pagi itu sangat dingin . Sebelum mandi bakar roti ,buat teh anget truus setrika baju :) .
Ternyata aku telah di tunggu , karena aku telat jadi nya agak lari lari dah ke taman . Insiden pagi tadi , baru pertama dah aku alami . Menuju kerumah Ardi pake acara nabrak orang , untung aja ga di jalan raya yaah . Cuma kena bumper depan nya aja dan harus berurusan sama orang singapur :D
Nyampe sekolah ga telat, ternyata masuk jam delapan . Minjam bentar kertas kisi kisi punya mymy dan ujian pertama Agama . Ga ada yang susah (padahal susah semua,lol) pada akhirnya selesai juga . Istirahat 15 Menit , darling darling aku ngjak makan mie ayam diluar skola . Ga jauhh juga dari sekola , kami makan mie ayam betiga aja .
Masuk lagi jam 10.15 dilanjut ujian PKN .
Sedikit photo moment buat hari ini karena ketauan sama pak Ridwan aku jepret jepret .hha


Label:
Cerita Hidup
Langganan:
Postingan (Atom)